HOLAINDONESIA.id – Saat berjalan-jalan di Jalan Malioboro, pasti kita akan menjumpai sebuah gapura megah untuk masuk ke daerah Pecinan. Kawasan ini adalah Kampung Ketandan, yang sudah ada sejak zaman kolonial.
Karena sudah ada sejak lama, Kampung Ketandan memiliki sejarah yang panjang di Yogyakarta, serta berhubungan dengan kebijakan pemerintah Belanda dan Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Keberadaan kampung ini juga menjadi bukti akulturasi budaya Cina dan Jawa di Yogyakarta. Karena keindahan budayanya, sekarang kampung ini juga menjadi destinasi wisata favorit dan pusat perekonomian di Kota Jogja.
Lalu, apa saja hal menarik dari Kampung Ketandan yang kaya akan sejarah dan kebudayaan ini?
Sejarah Kampung Ketandan
Nama ‘ketandan’ dari kampung ini berhubungan dengan pemungut pajak warga Tionghoa untuk Keraton Yogyakarta.
Ketandan berasal dari dari kata ‘Tondo’ yang bermakna pejabat penarik pajak atau pejabat tondo yang berwenang langsung pada etnis Tionghoa oleh Sultan Hamengkubuwono.
Hal ini menjadi salah satu bukti pentingnya keberadaan komunitas Tionghoa untuk menggerakkan roda perekonomian di Yogyakarta.
Letak Kampung Ketandan sangat strategis di pusat kota, tepatnya di kawasan Malioboro, dikelilingi oleh empat jalan, yakni Jalan Ahmad Yani, Jalan Suryatmajan, Jalan Suryotomo, dan Jalan Los Pasar Beringharjo.
Selama 200 tahun masyarakat Tionghoa sudah tinggal dan berdagang di kampung ini, sehingga menjadi kawasan Pecinan di Jogja.
Pada zaman dahulu di abad ke–19, telah terbit aturan dari pemerintah Belanda yang isinya adalah menerapkan pembatasan pergerakan (passentelsel) dan tempat tinggal warga Tionghoa (wijkertelsel).
Akan tetapi waktu itu warga Tionghoa tetap diperbolehkan menetap di kawasan tersebut dengan izin Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Daya Tarik Wisata
Kawasan Pecinan ini telah menjadi salah satu destinasi wisata populer di kalangan wisatawan. Salah satu daya tariknya yaitu bangunan-bangunan di kampung ini sangat unik dengan atapnya yang berbentuk gunungan dan jangkar di dinding.
Akan tetapi, seiring waktu atap-atap itu diubah menjadi lancip karena akulturasi budaya Cina dan Jawa. Perpaduan arsitektur ini dapat dilihat dari model bubungan yang termasuk dalam kategori Ngan San yang dikombinasikan dengan model atap pelana khas Jawa.
Sementara itu, ragam hiasnya seperti binatang, bunga, dan huruf-huruf Cina serta tempat persembahan leluhur sangat kental dengan budaya Tionghoa.
Ada juga unsur dari budaya Belanda yang dapat dilihat dari dinding tebal dengan pilar-pilar penyangga dan bangunan dengan langit-langit yang tinggi.
Menariknya, rumah-rumah di Kampung Ketandan dibangun menghadap ke jalan, sama seperti ruko pada umumnya. Sehingga tidak heran jika sangat cocok digunakan untuk aktivitas perdagangan.
Di sini kita dapat melihat banyak toko-toko masyarakat Tionghoa, seperti toko obat tradisional, toko perhiasan, dan toko kelontong.

Adapun wisata kulinernya juga tak kalah menarik dibanding makanan khas Jogja, mulai dari Roti Djoen, Bakmi Ketandan, Sate Babi Ketandan, dan yang paling populer Yammie Ketandan.
Karena kekayaan budaya dan bangunannya inilah, kawasan ini diakui sebagai daerah cagar budaya yang patut dilestarikan keberadaannya.
Lokasi Kampung Ketandan
Untuk lebih lengkapnya, lokasi kampung ini berada di Jalan Ketandan Kulon, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta.
Bila masih bingung, bisa mencarinya di aplikasi Google Maps di smartphone.